Makassar, Sambar.id — Suasana mencekam kembali melanda kawasan Perempatan Pasar Cidu, Cakalang, Makassar, pada Sabtu malam (9/11/2025), setelah pecahnya perang kelompok antarwarga yang berlangsung hingga dini hari.
Aksi brutal ini menyebabkan seorang warga bernama Harlan mengalami luka serius akibat terkena busur panah di bagian mata, serta kerusakan di area pemakaman umum (TPU) Beroangin).
Menurut keterangan warga setempat, bentrokan dimulai sekitar pukul 19.00 WITA dan terus berlanjut hingga lewat tengah malam di sekitar kawasan Sapiria, yang dikenal sebagai salah satu titik rawan bentrok dan peredaran narkoba di Makassar.
“Awalnya mereka saling layang di sekitar kuburan Sapiria, lalu makin ramai sampai subuh,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Warga menyesalkan dampak kerusakan yang meluas akibat perang kelompok ini.
“Ballasi kuburan kha kwdong... kalau begini mi siapa yang mau tanggung jawab atas kerusakan pemakaman di TPU Beroangin?” ujar seorang saksi dengan nada geram.
Situasi tersebut memicu gelombang desakan warga agar TNI kembali turun tangan menjaga keamanan di wilayah rawan konflik.
“Kami minta TNI hadir, lakukan patroli 24 jam dan sisir semua titik bentrokan. Dulu waktu garnisun masih aktif, aman semua,” tegas salah seorang tokoh masyarakat Cidu.
Meski aparat Brimob dan Satpol PP disebut sudah berjaga di lapangan, warga menilai langkah itu belum cukup untuk menekan eskalasi kekerasan yang terus berulang.
Mereka menganggap kehadiran TNI dibutuhkan sebagai kekuatan penengah dan efek jera bagi kelompok-kelompok yang kerap terlibat tawuran.
Aspek Hukum dan Regulasi
Secara hukum, tindakan perang kelompok dan penggunaan senjata tajam seperti busur panah dapat dijerat dengan sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di antaranya:
- Pasal 170 KUHP: mengatur tentang kekerasan bersama terhadap orang atau barang, dengan ancaman pidana lima hingga sembilan tahun penjara.
- Pasal 351 KUHP: mengenai penganiayaan yang mengakibatkan luka berat atau kematian.
- Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951, tentang kepemilikan dan penggunaan senjata tajam tanpa izin, dengan ancaman pidana hingga 10 tahun penjara.
Selain itu, penanganan konflik sosial diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, yang menegaskan bahwa pemerintah daerah dan aparat keamanan memiliki kewajiban melakukan pencegahan, penghentian, serta pemulihan pasca-konflik.
Kehadiran TNI di wilayah rawan bentrok juga diperbolehkan dalam konteks bantuan kepada Polri sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yaitu dalam rangka menjaga stabilitas keamanan dan mendukung penegakan hukum.
Bentrok di kawasan Cidu dan Sapiria ini menambah panjang daftar perang kelompok yang kerap terjadi di Kota Makassar. Pemerintah daerah, aparat kepolisian, dan TNI diharapkan segera bersinergi melakukan langkah strategis untuk mengembalikan rasa aman warga dan menegakkan hukum secara tegas tanpa pandang bulu. (Mahadia)







.jpg)
