Menurut Rihal, insiden tersebut bukan sekadar kecelakaan teknis, melainkan bentuk pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang secara hukum mutlak wajib dipertanggungjawabkan oleh PT Vale.
Baca Juga: Tajam Amanat Prabowo!, Tumpul di Sinjai
Pertanggungjawaban itu mencakup pemulihan lingkungan (remediasi), pemberian ganti rugi materiil maupun immateriil kepada masyarakat terdampak, bahkan dapat berujung pada sanksi pidana maupun denda apabila hasil penyelidikan dan penyidikan terbukti memenuhi unsur tindak pidana lingkungan.
Dasar hukum yang relevan antara lain:
1. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH):
- Pasal 88: “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
- Pasal 99 ayat (1): “Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara 1–3 tahun dan denda Rp1–3 miliar.”
- Pasal 100 ayat (1): “Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, emisi, dan/atau gangguan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.”
2. Sanksi administratif (Pasal 76–82 UU No. 32 Tahun 2009):
- Teguran tertulis
- Paksaan pemerintah
- Pembekuan izin lingkungan
- Pencabutan izin lingkungan
(dijatuhi oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangan, Pasal 82 ayat (1))
Baca Juga: Kasus IUP PT Timah Terus Bergulir, Wartawan Sambar.id Kembali Jadi Saksi di Kejagung
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, UU No. 1 Tahun 2023:
- Pasal 278 ayat (1): “Setiap orang yang secara melawan hukum menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup sehingga mengakibatkan dilampauinya baku mutu lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V (Rp500 juta).”
- Pasal 278 ayat (2): “Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat, mati, atau kerugian bagi kesehatan manusia, dipidana penjara paling lama 8 tahun atau denda kategori VI (Rp2 miliar).”
- Pasal 279 ayat (1): “Setiap orang yang karena kelalaiannya menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup dipidana dengan penjara paling lama 3 tahun atau denda kategori IV (Rp200 juta).”
- Pasal 280–281: mengatur pemberatan pidana terhadap korporasi, termasuk denda lebih tinggi, pembekuan usaha, hingga pencabutan izin.
Rihal menegaskan, dampak terparah dari kebocoran pipa minyak tersebut menimpa para petani sawah, yang dipastikan terancam gagal panen dan membutuhkan waktu sangat lama untuk memulihkan lahan agar kembali produktif.
Baca Juga: Lahan Transmigrasi Eks Timtim Terancam di Luwu Timur
Kondisi ini jelas akan memukul ekonomi keluarga petani, mengganggu stabilitas sosial, serta menurunkan kualitas lingkungan hidup masyarakat di sekitar wilayah terdampak.
Karena itu, ia menyarankan masyarakat terdampak untuk segera menempuh upaya hukum berupa gugatan ganti rugi atas pencemaran lingkungan, karena berdasarkan prinsip hukum lingkungan, perusahaan wajib membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan (strict liability).
Ia juga mendesak Penyidik Kepolisian, PPNS Lingkungan, serta Gakkum Kementerian LHK untuk melakukan penyidikan secara profesional, transparan, dan menjatuhkan sanksi tegas kepada PT Vale.
“Selain penegakan hukum, kami juga meminta ketegasan dari Pemerintah Daerah Luwu Timur maupun Pemerintah Pusat untuk menggunakan hak paksaannya dengan menjatuhkan sanksi administratif yang keras kepada PT Vale. Kasus ini bukan sekadar insiden teknis, melainkan bentuk kejahatan lingkungan hidup yang merugikan rakyat banyak,” tegas Rihal.
Ia menutup dengan penegasan bahwa pihaknya bersama mahasiswa dan masyarakat sipil akan terus mengawal perkembangan kasus ini, termasuk hasil investigasi lapangan dari aparat penegak hukum maupun instansi terkait. (Ra)