Sambar.id, Jambi || Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) Provinsi Jambi mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mengambil langkah konkret dan tegas dalam menyelesaikan konflik agraria antara masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD) dan PT Berkat Sawit Utama (BSU) di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Sengketa yang telah berlangsung puluhan tahun ini melibatkan lahan seluas 236 hektar yang secara turun-temurun dikelola oleh kelompok masyarakat adat di bawah kepemimpinan Datuk Alib.11/10/2025
Ketua LCKI Provinsi Jambi, Mappengara HK, menyampaikan bahwa lambannya penanganan dan pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah serta aparat penegak hukum menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi hak konstitusional masyarakat adat.
“Negara seharusnya hadir untuk melindungi rakyatnya, bukan membiarkan mereka dirampas haknya oleh korporasi. Konflik ini sudah berlangsung terlalu lama tanpa penyelesaian yang berpihak kepada masyarakat. Pemerintah jangan jadi penonton di tengah penderitaan rakyat adat,” tegas Mappengara dalam keterangannya, (11/10/2025).
Negara Jangan Abai, Pemerintah Harus Bertindak
Menurut LCKI, akar permasalahan dimulai sejak 1986, ketika perusahaan yang saat itu bernama PT Bangun Desa Utama (kini PT BSU), melakukan penggusuran paksa tanpa kompensasi terhadap lahan yang telah digarap oleh masyarakat SAD. Pada tahun 2005, pihak perusahaan mengakui bahwa lahan seluas 236 hektar berada di luar Hak Guna Usaha (HGU) mereka. Namun secara sepihak, pada perpanjangan HGU tahun 2019, lahan tersebut diduga kembali dimasukkan ke dalam konsesi perusahaan, tanpa penyelesaian konflik terlebih dahulu.
Mappengara menegaskan bahwa pemerintah pusat, khususnya Presiden RI dan Kementerian ATR/BPN, harus segera melakukan audit dan evaluasi terhadap status HGU PT BSU. Bila ditemukan adanya pelanggaran hukum, maka HGU tersebut harus dicabut dan tanah dikembalikan kepada masyarakat adat.
LCKI Tawarkan Solusi dan Langkah Nyata
LCKI juga menyampaikan serangkaian langkah konkret yang dapat diambil pemerintah untuk menyelesaikan konflik ini secara adil dan tuntas, antara lain:
1. Audit HGU dan Cabut Izin Bermasalah
Pemerintah wajib melakukan evaluasi terhadap proses perpanjangan HGU dan mencabut izin jika terbukti ada pelanggaran.
2. Verifikasi Lahan Bersama Masyarakat
Segera lakukan pemetaan ulang lahan sengketa bersama masyarakat adat, BPN, dan pihak independen.
3. Legalitas Tanah Adat
Terapkan skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) atau Hutan Adat untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat adat.
4. Bentuk Tim Penyelesaian Konflik
Pemerintah daerah diminta membentuk tim khusus lintas sektor yang melibatkan masyarakat, LCKI, dan lembaga independen.
5. Penegakan Hukum Tegas
POLDA Jambi harus mempercepat penyidikan terhadap laporan masyarakat SAD dan menetapkan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas dugaan perampasan lahan.
Risiko Konflik Sosial Meningkat Jika Negara Terus Membiarkan
Mappengara juga memperingatkan bahwa pembiaran konflik ini akan memperparah ketegangan sosial di lapangan dan dapat memicu konflik terbuka.
“Jika pemerintah terus diam, ketidakadilan ini bisa menjadi bara konflik sosial yang lebih besar. Negara jangan hanya sibuk mengurus investasi, tapi abai pada nasib masyarakat adat yang jadi korban keserakahan korporasi,” tegasnya.
LCKI menegaskan komitmennya untuk terus mendampingi masyarakat SAD hingga hak-hak mereka dikembalikan sepenuhnya. LCKI juga akan menyampaikan laporan resmi ke lembaga negara, termasuk Komnas HAM, Ombudsman RI, dan Kementerian terkait jika tidak ada langkah konkret dalam waktu dekat.
Penutup: Negara Harus Hadir, Bukan Membiarkan
Konflik lahan masyarakat adat tidak akan pernah selesai jika negara terus bersikap pasif dan tidak berpihak pada keadilan. Pemerintah wajib menunjukkan keberpihakan kepada rakyat, bukan kepada kekuatan modal.
“Sudah saatnya pemerintah menunjukkan keberanian politik untuk menegakkan keadilan agraria. Masyarakat adat bukan warga negara kelas dua. Mereka berhak hidup damai di tanah leluhur mereka,” pungkas Mappengara.
Reporter: Tim Redaksi