Timah Ilegal Tak Kenal Libur: Satgas Gagalkan Pengiriman 10 Ton ke Smelter MGR




Sambar.id Sungailiat Bangka || Menjelang pergantian tahun, praktik jual beli pasir timah ilegal justru kian berani dan dilakukan secara terang-terangan. Di saat aparat keamanan disibukkan dengan pengamanan Natal dan Tahun Baru 2026, dugaan kolaborasi antara kolektor timah ilegal dan smelter swasta kembali mencuat ke permukaan.



Pada Minggu dini hari, 28 Desember 2025, sekitar pukul 04.23 WIB, Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Timah menghentikan sebuah truk box bermuatan sekitar 10 ton pasir timah di kawasan Jelitik, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka. Truk box tersebut diduga kuat tengah menuju salah satu smelter swasta PT.Mitra Graha Raya (MGR).



Ironisnya, penindakan ini terjadi di tengah larangan tegas pembelian pasir timah oleh smelter swasta yang telah diberlakukan sejak 14 Desember 2025. Fakta tersebut memunculkan pertanyaan serius: siapa yang bermain, dan siapa yang memberi ruang perlindungan sehingga praktik lama terus berulang dengan wajah baru?



Informasi yang dihimpun di lapangan menyebutkan, pasir timah yang diamankan langsung dibawa tim satgas ke Fasilitas Gudang Bijih Timah Sungailiat PT Timah, guna kepentingan penyelidikan lebih lanjut. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi terkait pihak-pihak yang akan dimintai pertanggungjawaban, baik dari sisi pengirim maupun penerima.



"Namun secara dokumen surat jalan jelas asal usul timah berasal dari lokasi Jebus- Bangka barat melalui PT. SINERGY MAJU BERSAMA (SMB) yang bergerak dibidang tambang laut dengan KIP di IUP laut Permis /Rajik Bangka Selatan ,dan akan dikirim ke smelter PT.MGR dijelitik ." Jelas salah satu anggota satgas kepada awak media saat dikonfirmasi langsung di TKP .



"Ada hal yang aneh terkait surat jalan dan asal usul barang yang di kirim berbeda lokasi dan bukan berasal dalam IUP PT.SMB".


Pola Lama Waktu Baru


Penangkapan ini bukan kali pertama terjadi. Justru peristiwa tersebut berulang kali terjadi, memperkuat dugaan bahwa distribusi pasir timah dari wilayah IUP PT Timah Tbk ke smelter swasta masih berlangsung secara sistematis dan masive .



Keberanian kolektor mengirim muatan di jam rawan menunjukkan indikasi kuat bahwa jalur distribusi ini bukan kerja individu semata, melainkan bagian dari rantai pasok ilegal yang rapi—mulai dari penambang, kolektor, transporter, hingga pihak penerima di smelter dengan koordinasi yang diduga melibatkan oknum aparat negara.



Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap lemahnya efek jera serta dugaan pembiaran yang terus berulang. Negara seolah selalu tertinggal satu langkah dari para pelaku yang lihai membaca momentum.



Melanggar Aturan Negara



Jika dugaan tersebut terbukti, maka perbuatan ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), di antaranya:



Pasal 158



Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin resmi (IUP, IUPK, atau SIPB) diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.



Pasal 161



Setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan, pengangkutan, atau penjualan mineral atau batubara yang tidak berasal dari pemegang izin resmi, diancam pidana penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.



Artinya, tidak hanya penambang dan kolektor yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum, tetapi juga pihak smelter sebagai penadah dan penerima akhir.



Ujian Ketegasan Negara



Kasus ini kembali menjadi ujian serius bagi komitmen negara dalam menertibkan tata kelola pertimahan nasional. Penindakan di lapangan tidak akan cukup jika tidak diikuti dengan pengusutan menyeluruh terhadap aktor intelektual serta jaringan penerima manfaat di balik praktik ilegal tersebut.



Publik menunggu langkah tegas, transparan, dan tanpa pandang bulu. Sebab selama praktik ilegal terus dibiarkan berulang, maka penertiban hanya akan menjadi rutinitas seremonial—datang, menangkap, lalu hilang ditelan waktu.
(*)


Lebih baru Lebih lama