Sambar.id, Opini - Melawan Mindset Transaksional, Berdiri di Atas Menjemput Keadilan dengan Nurani, Dzoel SB Tegaskan Perjuangan Tak Bisa Diukur dengan Rupiah.
Di negeri ini, seringkali muncul mindset keliru, bahwa setiap urusan dengan pejabat, aparat penegak hukum, atau institusi kekuasaan harus selalu ada nilai transaksionalnya.
Baca Juga: Ketika Hukum Kehilangan Ruhnya, BTN Eksekusi Rumah, dan Pertanyaan untuk Negara
Seolah-olah keadilan dan kebenaran tak akan bergerak jika tak disertai amplop, “uang rokok”, atau deal politik di belakang layar.
Melawan Mindset Transaksional
Mindset adalah pola pikir atau cara pandang seseorang dalam menanggapi suatu peristiwa atau situasi.
Ia adalah kumpulan keyakinan, asumsi, dan cara berpikir yang memengaruhi bagaimana seseorang bereaksi, memaknai, dan mengambil tindakan.
Baca Juga: Negara Wajib Jaga Simbol!, Dzoel SB: Jangan Buta, Tuli, dan Bisu Dibalik Jeritan Rakyat Bawah?
Mindset memengaruhi cara memandang diri, kemampuan, dan potensi untuk melangkah Lebih jauh. juga memengaruhi bagaimana menghadapi tantangan, belajar dari kegagalan, dan mencapai tujuan.
"Mindset inilah yang saya lawan. Karena saya percaya, perjuangan yang lahir dari hati nurani jauh lebih kuat dan tulus daripada perjuangan yang lahir dari tawar-menawar kepentingan," Jelasnya.
Baca Juga: Fatamorgana di Butta Panrita Kitta? Sinjai Menolak Diam!
Ketika suara keberanian makin jarang terdengar, Dzoel SB—jurnalis warga sekaligus aktivis lingkungan asal Sinjai, Sulawesi Selatan—justru memilih untuk tampil melawan arus.
“Mindset bahwa berurusan dengan pejabat atau penegak hukum harus pakai uang—itulah yang saya lawan. Keadilan bukan barang dagangan. Ia lahir dari hati yang jujur,” tegas Dzoel saat ditemui, Selasa (5/8).
Aktivisme Berbasis Nurani, Bukan Transaksi
Lahir dari keluarga petani sederhana di pelosok Sinjai, Dzoel tumbuh dalam realitas getir: bahwa hukum sering kali tak berpihak pada rakyat kecil.
Baca Juga: Tajam Amanat Prabowo!, Tumpul di Sinjai?
Pengalaman itulah yang membentuk idealisme dan prinsip hidupnya—bahwa memperjuangkan keadilan bukan perkara rupiah, tapi soal panggilan nurani.
“Saya pernah dibohongi, dikibuli, dikelabui, bahkan seolah ingin dibutakan dari aturan hukum oleh di kampung halamanku," tuturnya
Baca Juga: Sinjai Bersatu? Krisis Multisektoral "Butta Panrita Kitta" di Kampung Halaman Kadiv Propam dan Auditor Itwasum Polri
Ia datang dengan iming-iming akan menolong, seperti dengan gagahnya seperti malaekat tampa sayap namun dibalut kemunafikan.
"Ia datang dengan bujukan lembut dengan iming-iming akan menolong, tapi saya justru merasa ditodong. Namun kenyataan saya merasa adalah sebuah persekongkolan, Justru dari situlah saya termotivasi buka mata untuk melawan kezaliman,” ungkap Dzoel.
Dari sanalah ia memulai perjuangan panjangnya
Saat ini, Ia (Dzoel-rd) dikenal aktif membongkar berbagai kasus, konflik agraria di Gowa dan Makassar, skandal rencana tambang emas PT Trinusa di Sinjai, dugaan korupsi PT Timah, hingga polemik pembebasan lahan Bandara Sam Ratulangi di Manado.
Ia juga menyoroti berbagai ketimpangan hukum, seperti kasus “polisi lapor polisi” di Takalar dan mandeknya laporan dua (2) orang Bhayangkari di Mapolda Sulsel.
Baca Juga: Polisi Lapor Polisi Mandek di Mapolres Takalar
“Saya pernah dituduh sadis, difitnah sebagai pembohong, bahkan dilabeli boyshori hanya karena membela masyarakat. Tapi saya tidak goyah. Saya tahu saya berada di jalur yang benar sesuai dengan hati Nurani" bebernya
Bagi Dzoel, akar dari banyak persoalan hukum di Indonesia terletak pada pola pikir transaksional.
Baca Juga: Tanahnya Dicaplok Ahli Waris Temanggung Daeng Lira Meradan, Pengacara Sulit di Konfirmasi
“Banyak yang percaya bahwa tanpa uang, tak akan ada keadilan. Mentalitas itulah yang saya lawan, bersama tim sudah dibuktikan," ujarnya
Keadilan Tak Hidup di Buku, Tapi di Nurani
Dalam perjuangannya, Dzoel terinspirasi oleh pernyataan Jaksa Agung RI, Prof. ST Burhanuddin, “Keadilan itu tidak ada di dalam buku, tetapi di dalam hati nurani.”
Pernyataan itu menjadi kompas moral perjuangannya. Baginya, hukum tidak cukup hanya sekadar teks dan pasal. Ia harus mampu menyentuh nilai-nilai kemanusiaan, konteks sosial, dan kearifan lokal.
Baca Juga: Tajam Amanat Presiden?, Petani Sekadau Menjawab: Lindungi Kami dari Tambang Ilegal!
“Ketika keadilan hanya berpijak pada buku, ia kehilangan rohnya. Tapi ketika berpijak pada nurani, ia hidup di tengah masyarakat,” ucapnya.
Falsafah Bugis-Makassar yang ia pegang teguh semakin memperkuat pijakan langkahnya “Ejapi na Doang, kualleangi tallanga na toalia” Bertindak nyata, bukan sekadar berkata-kata.
Jalan Sunyi, Tapi Bermartabat
Di tengah tekanan, intimidasi, dan fitnah, Dzoel tetap berdiri tegak. Ia menyadari betul bahwa jalan yang ia tempuh bukan jalan populer. Tapi ia tak pernah goyah.
Baca Juga: Breaking News: Kalah di MA, Bandara Sam Ratulangi Terancam Ditutup Paksa
“Kami bukan aktivis sewaan. Kami tidak menawar keadilan, tidak menyewa integritas. Kami hanya punya satu ikatan, berjuang membela rakyat yang tertindas, menolak kezaliman.” tutupnya
Perjuangan dari hati, katanya, bukan jalan menuju kekayaan atau popularitas. Jalan ini sunyi, lambat, dan kerap berdarah. Tapi justru di situlah letak kehormatan seorang pejuang.
Baca Juga: Kasus IUP PT Timah Terus Bergulir, Wartawan Sambar.id Kembali Jadi Saksi di Kejagung
“Jika keadilan tak bisa ditemukan di istana kekuasaan, maka kita harus menggali dari hati kita sendiri. Karena nurani "seperti keadilan" tidak bisa dipalsukan,” pungkasnya.
Perjuangan dari hati nurani memang sering tak dipahami. Tapi biarlah. Sejarah akan mencatat siapa yang berdiri untuk rakyat, dan siapa yang menjual suara nuraninya demi kekuasaan atau kepentingan sesaat. (*)